Sepotong Perjalanan Hidup di Negeri Hijau

Thursday, July 1, 2010


Ponorogo
Siang itu matahari enggan membagi kasihnya. Nampaknya ia lebih suka ngumpet dibalik awan kelabu. Wah...bakalan hujan nih, pikiran pertama yang terlintas dalam benak. Hubungan sebab akibat yang terlalu lama mengkristal dalam benak manusia, meskipun tidak seratus persen salah, tapi belum tentu kalau mendung pasti hujan kan?
Menunggu, adalah pekerjaan yang paling membosankan, dan akan terbayar ketika yang ditunggu datang. Ah...akhirnya saya melihat sosok dibalik helm hitam yang sudah sangat akrab dengan saya sejak dua tahun terakhir. Seorang kawan terbaik yang mendorong saya untuk melanjutkan studi ke Libya. “Maaf saya telat ya?”, tanyanya. “Belum kok, tapi bentar lagi mungkin bisnya datang”, jawab saya dengan senyum yang terpaksa. Perpisahan. Selalu berhasil menyentuh sisi paling sensitif dari pribadi saya. Pergulatan batin antara berangkat dan tidak cukup menyita pikiran dan energi. Maklum, meninggalkan orang-orang tercinta untuk jangka waktu yang lama dan jarak yang sangat jauh bagi gadis 17 tahun bukan hal yang mudah. Tapi tugas suci untuk belajar serta dukungan dari orang-orang terdekat cukup menguatkan saya waktu itu.
Bis biru-putih bergambar reog jurusan Ponorogo-Jakarta yang ditunggu banyak orang—kecuali saya—akhirnya datang. Sungguh, keadaan yang paling saya benci selama 17 tahun saya hidup. Ketika orang-orang tercinta melambaikan tangan tanda perpisahan, seolah mereka mengucap salam perpisahan terakhir. Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan. Kembali atau tidak itu urusan Tuhan.

Jakarta
Setelah 20 jam terperangkap dalam benda kotak dingin melewati beberapa kota di pulau Jawa akhirnya kami sampai di terminal Rawamangun, Jakarta Timur. Tidak lama menunggu avanza silver milik salah seorang famili yang tinggal di Jakarta menjemput. Sosok ramah dan periang yang akrab saya panggil budhe  menyambut kami cerah. Suaminya dengan sigap mengangkat koper 20 kilo penuh muatan milik saya dan menaruhnya di bagasi belakang. Sejenak kami menikmati hiruk pikuk ibukota yang katanya tidak pernah tidur itu. Gedung-gedung pencakar langit dengan angkuh menyambut kedatangan orang kampung ke Jakarta. Monas yang menusuk lazuardi, patung pak tani yang menjadi simbol agraris Indonesia, istana negara yang menjadi tempat berdiam orang nomor satu di Indonesia, bundaran HI yang menjadi saksi demokrasi, mall-mall simbol kapitalisme tumbuh subur bak jamur.
Tempat pertama yang kami tuju adalah gedung PP Muhammadiyah di bilangan Menteng. Bahkan untuk sekedar gosok gigi pun saya belum sempat, hanya karena ingin menaati aturan yang sudah dibuat bahwa setiap calon mahasiswa harus mengikuti training sebelum pemberangkatan. Gedung yang tidak asing bagi saya, karena sebelumnya saya sudah menginjakkan kaki dua kali disini, dulu waktu tes penerimaan calon mahasiswa yang akan dikirim ke Libya.
Selama training sempat terlintas pikiran minder dan merasa tidak mampu, karena minimnya penguasaan bahasa arab. Bisa dikatakan saya hanya modal nekat, modal pede dan sedikit tampang yang meyakinkan. Katanya orang arab suka sama orang yang pede dan berani ngomong. Seorang kawan memberi saran, “Pokoknya kalau ditanya jawab aja, yang penting ngomong, jangan takut salah”. Dan memang benar. Dari modal pede dan sedikit tampang meyakinkan itulah yang mengantar saya ke bangku kuliah. Mungkin, hehehe....
Bandara. Disinilah perpisahan yang sesungguhnya terjadi. Batu loncatan untuk menuju kehidupan baru yang masih buram. Bukan hanya berpisah dengan orang-orang yang saya cintai, tapi juga perpisahan dengan masa lalu dengan segala kenangannya, perpisahan ruang dan waktu. Disini, di Soekarno-Hatta saya telah menyerahkan hidup  kepada masa depan yang mungkin baik dan bisa jadi buruk.  Tapi ketahuilah, Allah punya rencana indah dari sini....

Libya
Pukul 23.00 waktu Tripoli kami  21 calon mahasiswa menginjakkan kaki di bandara internasional Tripoli. Ya, ini Libya. Bukan Thailand, bukan Mesir, dua negara yang kami singgahi sebelumnya. Meski tidak semegah Suvarnabhumi  airport, tapi cukup memadai-lah untuk disebut bandara. Orang-orang tinggi besar laki-laki dan perempuan lalu lalang, tenggelam dalam kesibukan bandara. Ada seorang wanita paruh baya dengan gagahnya memanggul tas yang saya taksir beratnya sekitar 20 kilo, padahal disediakan troli. Hemm....pemandangan yang aneh. Belum lagi bahasa yang terdengar asing di telinga, banyak “esy” nya. Seperti musy, li-esy, ghidasy, syin. Tapi saya menikmati suasana asing yang tersaji.
Rombongan kami disambut oleh kakak-kakak senior mahasiswa Indonesia yang belajar di Kulliyah Dakwah Islamiyah. Dengan ramah mereka menyapa kami, membawakan tas dan koper penuh muatan ke mobil pick up yang sudah disediakan. Setelah dirasa semuanya siap kami masuk minibus yang diparkir tidak jauh dari pintu masuk bandara.
Tripoli malam ternyata sangat jauh berbeda dibanding Jakarta. Jakarta dengan segala gemerlapnya, seolah tak kenal siang dan malam. Tapi ini Libya. Di musim panas seperti ini siangnya lebih panjang. Jam sebelas malam sebenarnya belum terlalu larut karena isya’ baru lewat sekitar dua jam yang lalu. Tapi sepinya seperti jam 3 pagi di kota kecil Ponorogo. Selama perjalanan dari airport menuju kampus hanya satu dua mobil yang kami jumpai. Tidak ada kemacetan disini. Pasalnya jumlah penduduk Libya sangat sedikit dibanding luas negaranya. Libya yang luasnya 90 persen wilayah Indonesia hanya dihuni sekitar 2 persennya saja, atau sekitar 7 juta penduduk.
Pertumbuhan pembangunan Libya terbilang lambat. Hidup disini seperti kembali ke tahun 70-an di Indonesia. Berlebihan sebenarnya, tapi begitulah teman-teman menggambarkan geliat pembangunan di Libya yang jauh tertinggal dibanding Indonesia. Padahal Libya termasuk negara kaya penghasil minyak dunia. Maklum saja, negara ini baru terbebas dari embargo ekonomi tahun 2003. Meski demikian Libya bisa bertahan menghidupi warganya dari produksi minyak bumi yang mencapai 1,4 juta barrel perhari. Dari sinilah pemerintah Libya mensubsidi kebutuhan warganya seperti BBM, makanan, kesehatan dan pendidikan. Namun, sisi negatifnya karena terus-menerus disubsidi pemerintah, warga Libya cenderung malas untuk melangkah maju. Pada jam-jam kerja masih banyak dijumpai orang-orang yang ngopi sambil asyik ngobrol di kafe-kafe pinggir jalan. Pun tidak banyak perempuan yang bisa dijumpai di jalan. Baru sekitar tahun 2004 perempuan mulai sering keluar rumah untuk bekerja, sekolah atau hanya sekedar jalan-jalan.
Pergantian musim panas ke musim dingin cukup mengganggu pernafasan. Banyak teman-teman baru yang mimisan karena udara Libya yang kering. Pagi pertama di Tripoli, saya memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar lingkungan kampus. Kulliyah Dakwah Islamiyah didirikan pada tahun 1974. Disini sistem pendidikan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan sistem pesantren. Mahasiswa wajib tinggal di asrama yang disediakan pihak kampus. Kulliyah Dakwah Islamiyah (KDI) sendiri hanya menerima mahasiswa asing non Libya. Memang tujuan didirikannya kampus ini adalah sebagai sumbangsih World Islamic Call Society (WICS) kepada dunia Islam di bidang pendidikan, dengan memberikan kesempatan belajar kepada pemuda-pemudi Islam di seluruh dunia untuk belajar agama secara cuma-cuma. 
Gedung kampus terdiri dari dua bagian, ma’had (kelas persiapan bahasa) dan kulliyah (gedung induk). Ada pula imaroh (asrama), math’am sebagai pusat suplai makanan bagi mahasiswa, maktabah (perpustakaan), mudarroj (gedung pertemuan),  suq kulliyah yang menyediakan barang-barang keperluan mahasiswa, warnet, funduq (wisma untuk menginap tamu-tamu kehormatan), masjid, kantor WICS, dan tawashul (kantor berita KDI).  Ada juga taman kecil terletak  di tengah kompleks menghiasi area kampus.
Masa belajar  tingkat S1 di KDI adalah 4 tahun, dengan sistem kenaikan tingkat, seperti sistem yang digunakan di mayoritas negara arab. Ada dua kali ujian dalam setahun, ujian nishfi (pertengahan tahun) dan niha’i  (akhir tahun). Sebagai  penghargaan dan imbalan jerih payah mahasiswa dalam belajar disediakan tiket liburan ke negaranya secara cuma-cuma, dengan syarat harus lulus disetiap mata kuliah. Jadi jika ada satu mata kuliah saja yang gagal para mahasiswa harus rela menahan kerinduan untuk bersua dengan keluarga dan sanak saudara.
Banyak teman-teman Indonesia yang ketika saya pulang liburan 6 bulan yang lalu bertanya, “Di Libya makanannya gimana?”. Makanan orang Libya sama dengan orang Indonesia. Ada beras, telur, roti, daging, sayur meski tidak banyak, jeruk, anggur, mish-mish dan koukh yang dalam bahasa inggrisnya peach, dan tentu saja kurma, zaitun, dan buah tin, buah-buahan yang hanya bisa dijumpai di negara-negara arab. Hanya bedanya tidak ada tempe dan tahu, makanan yang Indonesia banget. Ada lagi yang spesial dari Libya, kus-kus. Sejenis nasi jagung yang butirannya kecil-kecil dan lembut. Tapi kalau kena kuah sayur bisa jadi besar dan banyak. Pertama kali makan kus-kus di math’am karena belum pengalaman, lupa bawa sendok. Akhirnya seperti makan angin, tidak bisa dipuluk seperti makan nasi. Dan pasti kus-kus ini dimakan dengan sayur fashoolia (sejenis kacang-kacangan) yang dimasak dengan kentang dan bawang bombay yang diiris besar-besar. Ada lagi burdim. Makanan khas Libya yang dibuat dari daging kambing. Yang unik dari burdim adalah cara memasaknya. Daging kambing yang dipotong besar-besar hanya dibumbui garam dan merica kemudian dimasukkan ke dalam kuali besar yang ditanam di dalam tanah dan dimasak dengan bara api. Waktu yang digunakan untuk memasak burdim harus tepat 2 jam lebih 10 menit, tidak boleh lebih atau kurang. Sementara daging yang dipakai bisa daging ayam atau daging kambing. Hanya daging unta yang tidak biasa digunakan untuk membuat burdim, karena rasanya yang kurang enak dan dagingnya yang liat sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses memasak.
Ada sedikit kesenjangan bagi perempuan disini, namun sebenarnya tujuannya untuk melindungi mahasiswi dari orang-orang usil Libya maupun pendatang dari Sudan, Mesir atau negara-negara Afrika lain yang kebanyakan berprofesi sebagai pekerja jalanan. Jika laki-laki bebas keluar area kampus tanpa ijin, maka perempuan baru boleh keluar setelah mendapat ijin dari penjaga asrama. Itupun hanya sekedar berbelanja sayur, menelepon di wartel, atau mengakses internet (dua tahun lalu sebelum pihak kampus berinisiatif membuka warnet di kampus). Sedangkan untuk berbelanja barang-barang seperti baju, sepatu, alat-alat untuk memasak dan lain-lain harus ke kota yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan naik bis. Hanya setiap hari Sabtu mahasiswi diijinkan untuk ke kota dengan fasilitas antar jemput yang disediakan pihak kampus.  
 Jalan-jalan di kota Tripoli yang terletak di pinggir pantai laut Mediterania adalah kenikmatan tersendiri. Suasananya tidak seramai Jakarta. Di musim panas banyak warga Libya yang menghabiskan waktu sorenya untuk bercengkrama dengan keluarga ataupun teman di taman kota sambil menikmati belaian angin sore pantai yang segar. Kebersihan kota yang terjaga menambah kenyamanan siapapun yang ingin melepas penat setelah seharian beraktifitas. Pada hari libur suasana kota semakin ramai di sore hari. Banyak pedagang menjajakan barangnya, dari mulai kacang arab, arum manis, popcorn, minuman ringan, bahkan sisha (rokok khas arab). Ada juga yang menyewakan jasa foto kuda lengkap dengan keretanya yang dihias meriah.
Madinah Qadimah (kota tua) dulunya adalah sentral pemukiman warga Tripoli. Namun sekarang telah disulap menjadi pasar tradisional yang menjual berbagai pernak pernik  khas Libya, seperti piring-piring dari tembaga, karpet, hiasan dinding dan berbagai macam kerajinan tangan lainnya. Letaknya tidak jauh dari taman kota Tripoli. Bersebelahan dengan madinah qadimah adalah museum nasional Libya. Kami sendiri lebih suka menyebut madinah qadimah sebagai  suq qadim (pasar lama), karena pasar baru berarti swalayan yang baru setahun belakangan dibangun di Libya. Barang-barang kerajinan yang dijual cukup mahal untuk ukuran mahasiswa. Untuk sebuah tas dari karung goni ukuran sedang bisa dijual dengan harga 10 dinar yang setara dengan kira-kira 80 ribu rupiah. Apalagi barang-barang kerajinan dari tembaga harganya bisa berpuluh-puluh dinar. Di kota tua ini terdapat masjid jami’ yang dulunya adalah gereja katolik terbesar di Libya. Bangunannya sangat artistik bernuansa Itali. Tidak jauh dari masjid ada kantor pos nasional Libya. Saya pernah sekali mengunjunginya, coba-coba mengirim surat ke Indonesia. Perangkonya lumayan murah, hanya 2 dinar ketika itu (sekitar 16 ribu rupiah). Tapi suratnya nggak pernah sampai karena alamat tujuannya salah dan saya tidak menulis alamat pengirim, sehingga suratnya pun nggak balik. Hehe...
Meskipun sudah berkali-kali menyusuri kota tua saya tetap saja bingung dan nggak hafal jalan, karena banyaknya gang-gang dengan bangunan yang mirip satu sama lain. Kalau sudah mentok muter-muter dan nggak nemu jalan pulang, akhirnya harus tanya, “Maalesy, funduq kabir fi wein?” (maaf, funduq kabir  dimana ya?). Funduq kabir adalah nama hotel yang jadi patokan kalau kita nyasar. Karena bis kampus selalu diparkir di depan funduq kabir.
Libya dengan segala warnanya telah melukis sejarah hidup saya. Hampir 3 tahun terlewati dengan segala pernak perniknya. Dan akhirnya semoga 4 tahun jatah hidup saya disini tidak berakhir sia-sia. Semoga.


oleh: Ellen


0 comments:

Post a Comment